Question from 2020 to 2021

Wednesday, June 09, 2021

Assalamu'alaikum!

Hai! 


It's been a looooooong time I didn't write anything in here sebenarnya juga masih nggak tau mau nulis apaan tapi karena sudah ada invoice domain mau nggak mau ya bund kita harus menulis biar nggak suwung, at least I just want to updating my life through this platform too.

Biasanya update kehidupan lewat Instagram, walaupun tidak 100% semua nya di update ke Instagram, terlebih semakin naiknya jumlah engagement semakin hari berusaha menjaga Muru'ah (Lah, aku siapa yak btw? 😂) Muru'ah itu kehormatan, menjaga diri, menjaga nama baik dan teman-temannya. Rasanya kadang nggak nyaman, karena kesannya nggak friendly dan nggak orisinil berhubung di kehidupan asli anaknya emang rada-rada jadi pura-pura anak manis itu PR juga 😂

For the past year I decided to rebranding my Instagram (alah, pasti kalian mau bilang alah kan 😏) Maksudnya, ya mau posting yang hal-hal yang lebih berguna, manfaati, karena aku mudah tertrigger dengan hal-hal yang menurutku nggak sesuai, kalau aku cuma marah-marah atau komen aja rasanya kayak "Buat apa tidak ada gunanya" kan mending sekalian membuat konten untuk membenahinya. Ya nggak ada yang ngasih tanggung jawab sih tapi rasanya tuh ngganjel banget kalau cuma diem aja. 

Update kehidupan mulai dari mana ya? Mulai menjawab QnA di DM atau pertanyaan yang suka ditanyain aja kali ya,

I remember this question, satu pertanyaan saat Live dengan Tsaqafah mengenai life as nawaning apakah kita harus mengurus Pondok? Apakah jika kita tidak, atau mempunyai keinginan itu harus break the rules?

My answer at that time tentu pada taraf aman Here is the IGTv, tapi memang pada kenyataannya setiap keluarga Pesantren itu memiliki rules yang berbeda (please note aku nggak lagi jumawa karena keluarga Pesantren) tapi....hal yang menurutku menyedihkan, nggak semua paham tentang perbedaan ini, jika pun paham pasti over-judgment. Aku nulis ini juga bukan dalam rangka nurunin muru'ah, ini tuh kritikan even for my own family, dan menurutku bukan budaya yang cocok aja untuk generasi-generasi setelahnya (mungkin beberapa tahun kedepan aku malu kali ya nulis ini, tapi bisa jadi malah setuju banget, who knows). 

Life as amfibi, aku bisa bilang begitu. Akhirnya, ngajarin aku banyak banget hal. 

Pertama if you are an amfibi, pasti culture shock! Selama hidup lingkunganmu Pesantren dengan segala budaya akhlaknya, silaturahmi yang kuat banget, bahkan perubahan mode relasi bisa berubah 180 derajat hanya karena faham nasabnya dari mana (sedih ya? iya) tapi banyak juga yang bukan melihat dari nasabnya - karena ke ilmuannya, semua atas dasar saling hormat-menghormati, lalu keluarlah aku dari dunia Pesantren, culture shock nggak semua sepemikiran dengan kita nggak semua orang bisa setuju dengan pemikiran Pesantren yang kadang nggak nonsense, nggak saling menghormati atas dasar nasabmu siapa. Aku yakin 100% kalau kehidupanku di dalam Pesantren sampai hari ini, mungkin aku nggak merasakan rasanya di lempar recehan dari salah satu customer, nggak ngerasain di bentak-bentak karena sistem manajemen kantor yang ribet, nggak ngerasain di kambing hitamkan senior, nggak ngerasain di rendahin dan dibilang kaum bawah. Iya, mungkin aku akan merasakan tekanan yang lain, yang aku bakal bahas nanti. The poin is, dulu aku nggak paham kenapa aku harus capek-capek 10 tahun ndekem di Pesantren kok sekarang capek-capek kerja di kantoran? Ternyata, ini untuk melatih mentalku, untuk tau kalau nggak semua orang punya standar yang sama, untuk bisa ramah ke orang, untuk tau rasanya di rendahin yang pada akhirnya aku bisa memanusiakan manusia (masa manusiakan manusia sampai segitunya, ya kehendak Allah untuk diriku memang segitunya) yang pada akhirnya nggak bisa jumawa membawa-bawa nasab karena semua akan kembali pada kualitas diri sendiri. Sampai pada tahap, yang bisa aku lakukan adalah selalu berbenah diri-sendiri.

Semua tentu Sawang Sinawang, kehidupanku tampak menyenangkan untuk Nawaning yang kegiatannya di Pesantren, ya menyenangkan aku berpenghasilan, keluargaku sangat moderat dan demokratis, cukup mudah aku mengambil keputusan di keluarga. Iya, ada penekanan dalam kata mengambil keputusan. Itu bukan hal yang mudah, yang aku lihat, nggak semua bisa mengambil keputusan sesuai hati, bahkan ada yang kehidupannya sudah diatur dari dini "Besok pokoknya, habis Mondok-Khatam-Nikah" as if she doesn't have a dreams. Ini berbeda banget dengan keluargaku yang sangat menghormati pendapat anak, bahkan di keluarga intiku Ibuku mempunyai pendapat bahwa "Orangtua itu belajar menjadi Orangtua karena ini peran pertama kami, jadi jika dalam perjalanannya kok banyak salah ya kita sama-sama belajar" yang ternyata sama denganku aku selalu beranggapan "Bahwa menjadi anak itu belajar, karena ini peran pertamaku, pasti ada salah dan benarnya" karena pada akhirnya semua itu proses belajar. Nggak semua keluarga punya pendapat seperti ini. FYI, bahkan beberapa menganggap hal ini membelot dan durhaka (kok lebay ya? tapi memang begitu adanya). Apakah aku benar-benar terlepas sebebas itu untuk mengambil keputusan juga? Ya nggak, kerjaan kantoranku itu kan karena ngejar ridho orang tua. Atas dasar birrul walidain kadang banyak hal jadi nonsense, banyak banget. Kalau boleh kritik pedas dan mengakui dengan berat hati, diktator-toxic relation (baik verbal sampai fisik) itu masih lekat dengan lingkungan ini, bahkan saling gengsi ini juga ada, alih-alih menjaga muru'ah malah jadinya saling gengsi. Ini, mungkin kalau aku nggak amfibi aku akan paham dan mengiyakan, tapi karena aku udah amfibi, aku jadi geleng keheranan. Ini kok kayaknya kritikan semua ya? Nggak kok, banyak yang pada akhirnya hasilnya memang jadi orang yang beneran manfaat, benar-benar bergerak dan menahan diri untuk umat, amal jariyahnya masya Allah nggak paham lagi, apalagi pasti warisannya poro Nabi, dan kadang dalam beberapa aspek aku malah justru iri dengan Nawaning yang bergerak di Pesantren, jelas banget arah hidup dan tujuannya kayak udah banyak kepastiannya aja gitu 😅

Tentu tulisanku diatas itu teguran bukan hanya untuk yang aku tuliskan, tapi untuk diri sendiri juga, biar nggak jumawa dan selalu paham bahwa diri ini manusia yang diciptakan Allah buat apalagi kalau nggak ibadah. Untuk merendahkan hati serendah-rendahnya, harus selalu sadar at the end of the day we are humans too. Minta maaf dan berterimakasih dari suatu masalah itu normal.

Mbak, sepertinya mbak tika kok kelihatan happy banget ya, kasih saran dong mbak biar happy terus?

Nggak bisa bilang 2021 worst year, soalnya ada hal yang sangat nggak terduga ngelahirin Nyantri Kilat - Pondok Virtualiyah kalau pada bilang (tapi kalau dibilang Pondok sih juga jauh banget ya, ini lebih ke Kelas Virtualiyah aja 😂) Tapi, aku bisa bilang 2021 had the worst January ever, sampai berat badanku anjlok turun 5 kilo. Am I happy all the time? Tentu nggak, I had the worst situation this year too,  benar-benar ngerasain drama yang banyak macamnya, dari di backstab, di patahkan impian, di reject, semua hal itu seakan di rush dalam satu waktu. Nggak mau ngapa-ngapain, bahkan pulang ngantor di kamar ndekem sampe jam 11 malem baru sadar kalau belum makan dan belum nyalain lampu kamar, nangis setiap hari, kalau makan muntah, bukan masalah apa, tapi dipatahin impian dan di backstab itu menguras emosi sih. Di tempatkan di posisi yang serba salah. Tugas yang berat yaitu memenuhi ekspektasi, yang padahal aku sendiri tidak meminta ekspektasi itu, jujur society tidak ramah Mbak-mbak memang 😓 Terus pas lagi down banget, ada yang curhat konsultasi dan minta ketenangan hati, rasanya bahkan aku sendiripun sedang berusaha untuk tenang. The worst part, problemaku jadi bahan obrolan, tentu semua dengan dalih "Kami berniat baik". Tapi, ya nggak mungkin kan hal beginian di ceritain tiap hari di Instagram, cukup aku tutup segitu aja kisah itu, karena harapan besar banget itu tangga buat aku naiki.

Salah satu content creator yang aku suka tonton, Jerome followersnya naik terus kontennya menghibur dan edukatif menyenangkan kalau dilihat ya? Terus suka eman nggak sih waktunya kalau lihat story teman-teman yang nggak tau itu apaan? Iya, that is way penting adanya membuat konten yang manfaat, nggak perlu sampai harus pada tahap followersmu 100k bahkan followers 100 aja kalau bisa menginfluence dengan baik ya kenapa nggak? Bayangno yo ngumpulke wong 100 neng dunia nyata kui angel, perlu ada promo seperti beli Mcd pake Mandiri/BRI dapat diskon atau promo yang hits hari ini BtsMealDay yang bisa ngumpulin 100an ojol dalam satu resto, harus ada gerakan sebegitunya dulu kalau di dunia nyata, lah ini di Instagram, ngepost foto skincare aja bisa ngereach 900an orang dengan respon 10-20 nanyak itu skinker apaan? Reviewnya bagaimana? See...Sosial Media itu masalah kita bijak mengendalikannya, mau dibuat menyenangkan bisa mau dibuat pamer ya bisa mau dibuat tempat curhat doang ya bisa untuk belajar juga bisa.

Dari situ salah satu niat membuat Nyantri Kilat, tentang Nyantri Kilat ini aku ceritain di post beda lagi kali ya, karena udah panjang banget kayaknya sampe kelupaan buat makan.

Tapi btw kayaknya kapan ya terakhir aku nulis opini kayak gini? Wkwkwk, aneh banget, selama ini selalu menahan menulis opini karena capek aja gitu ngikutinnya, tapi ternyata ya kadang perlu untuk dituliskan.

Tentu, kalau banyak kata yang kurang berkenan tolong dipahami, ini pendapat murni dari POV saya, kalau njenengan punya yang berbeda let me know tapi jangan paksa aku untuk sependapat ya, salam damai 😘😇

Kayaknya aku akhiri dulu deh mendingan, semoga dari sekian banyak kata ada manfaat yang bisa diambil, sekian!

Thankyou 💖


Wassalamu'alaikum


You Might Also Like

0 komentar

Berkomentarlah selagi ada lahan untuk menampung :)

Subscribe